Di sisi lain UAV ini sukses sebagai pesawat penyerang, dibuktikan dalam operasi counter teroris di Afghanistan dan Pakistan, UAV sukses menyerang dan membunuh tokoh-tokoh teroris Al-Qaeda dan Taliban dengan peluru kendali Hellfire yang dilekatkan pada UAV. Para ahli strategi militer mengatakan bahwa UAV adalah kekuatan pengganda yang terbukti ampuh di medan perang modern. Banyak insan kedirgantaraan meyakini bahwa pertempuran di masa depan akan didominasi oleh UAV. Mulai dari pesawat intai tanpa awak yang terbang tinggi, jet tempur tanpa awak, helikopter tanpa awak yang diluncurkan dari darat dan laut. Kelebihan UAV, adalah cakupan pengawasan wilayah yang sangat luas, tanpa khawatir dengan perlunya istirahat awak pesawat. Dibandingkan pesawat mata-mata masa lalu U-2 UAV masa kini akan mampu terbang tinggi diatas 60.000 ft dalam waktu lama, berbeda dengan U-2, walau mampu membawa peralatan berat crew tidak bisa terbang tinggi dalam jangka waktu lama karena kelelahan. Pesawat UAV Triton Impian Australia Pada saat tergabung dalam operasi tempur di Afghanistan, pasukan darat Australia mendapat dukungan informasi intelijen dari armada pesawat tanpa awak dari satuan Royal Australian Air Force (RAAF) Heron yang berbasis di Kandahar. Pasukan darat penggempur bisa tidur nyenyak tidak takut diserang, karena wilayahnya di amati secara penuh oleh Heron yang dipersenjatai. Musuh bisa lari, tetapi tidak bisa sembunyi. Demikian menurut para ahli yang faham dengan keampuhan UAV.
Pada Tahun 2009, pemerintah Australia telah aktif melihat perkembangan perang masa depan, ikut menginvestasikan dana sebesar US$100 juta dalam proyek pengembangan UAV di AS. Pemerintahan Partai Buruh kemudian menghentikan keikut sertaannya dalam proyek US Navy yang dinamakan Broad Area Maritime Surveillance (BAMS) dalam proyek rahasia yaitu pengembangan Northrop Grumman Global Hawk Unmanned Aerial Vehicle ( UAV ). Global Hawk kini dinilai sukses, tercatat telah melalui 10.000 jam operasional dan dinilai sukses sebagai bagian utama dalam sebuah operasi udara (air intelligence). Global Hawk yang dimiliki oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) yang berpangkalan di Guam telah berhasil terbang di atas wilayah udara di Utara Australia untuk mengumpulkan data iklim dengan sampling udara dingin pada ketinggian tinggi untuk memprediksi cuaca. Ini adalah misi yang ideal untuk UAV (Global Hawk) yang bisa terbang di atas ketinggian 58.000 feet dan mampu berkeliaran selama 30 jam lebih diatas target cakupan yang luas, jauh di atas kemampuan pesawat lain, selain tidak terpengaruh oleh cuaca buruk.
Kini pemerintahan Australia kembali tertarik untuk memiliki pesawat UAV yang besar dan canggih. Nampaknya pilihan jatuh kepada UAS produksi Northrop Grumman Triton MQ-4C seperti yang kini dipergunakan oleh US Navy. Menteri Pertahanan Australia David Johnston kini sedang berjuang keras untuk mendapat persetujuan kabinet agar kebutuhan pengadaan tujuh Triton sebesar US$2,5 milyar dapat terpenuhi. Apabila rencana terlaksana, ke tujuh Triton akan dikendalikan oleh RAAF dengan dislokasi di Pangkalan RAAF Edinburg, dekat kota Adelaide. Menhan Johnston menekankan, "Sebagai negara maritim kemampuan dengan cakupan jenis ini harus memiliki perhatian kita," tegasnya. Idealisme Australia dalam memiliki UAV dengan klasifikasi tertentu sejak 2009 terus dikembangkan oleh Grumman. Sejak Australia menarik diri, Northrop Grumman telah mengembangkan versi Naval, UAV jarak jauh yang bertenaga jet yang disebut Triton. UAV ini menggabungkan banyak persyaratan desain awal Australia seperti memperkuat badan pesawat dan peralatan anti icing. Triton adalah satu-satunya UAV yang bisa terbang di 20.000 meter (60.000 feet) selama 30 jam dan dapat memantau hingga seluas 40.000 kilometer persegi lautan dalam misi tunggalnya. Triton memiliki lebar sayap 40 meter dan sensor suite akan mencakup radar 360 derajat yang kuat, seluruh elektro optik dan kamera infra merah, pelacakan sasaran dan auto motion video penuh. Versi Global Hawk juga telah digunakan sebagai simpul komunikasi untuk suara dan data untuk pasukan AS atas Afghanistan dan menurut Northrop Grumman sebuah Triton tunggal bisa menutupi area yang sama dengan 14 sampai 21 UAV lain.
Triton yang merupakan pengembangan lanjut dari UAV Global Hawk, dilengkapi dengan jet engine Rolls Royce, tidak dirancang untuk dipersenjatai. Pesawat dibangun untuk mampu menahan es dan turbulensi berat dan dapat membawa beban besar sensor kuat yang menjadikannya sebagai platform yang ideal untuk pengawasan daerah maritim yang luas. Triton juga dapat beroperasi dan memonitor daratan dan telah diuji kemampuannya dalam memonitor kebakaran hutan dalam skala luas, dimana kamera infra merah dapat melihat menembus asap tebal untuk menentukan pusat kebakaran, ancaman dan bahkan mampu mengidentifikasi blok mesin kendaraan di darat. Demikian keampuhan Triton, disamping kemampuan lainnya yang tidak diekspose.
Angkatan Laut AS membeli 68 buah Triton, dimana peran utama mereka adalah untuk memberikan sebuah perlindungan keamanan dengan kemampuan monitoring intelijen terhadap kemungkinan ancaman bagi armada US Navy di kawasan Eropa, Pasifik dan Timur Tengah. Angkatan Laut AS akan menguji keterampilan armada Triton hingga akhir 2017 sebelum pengiriman pada tahun 2018. Demikian informasi tentang rencana Australia untuk memiliki pesawat tanpa awak super canggih Triton MQ-4C. Alasan utama akan kebutuhan pesawat ini adalah kesimpulan rasa khawatir akan peran China yang semakin berani beraksi di kawasan Laut China Selatan. Elit di Australia jelas berhitung, apabila AS disuatu hari terpaksa menarik diri dari kawasan di Asia Timur dan Laut China Selatan, maka ancaman terhadap mereka akan menjadi nyata. Apakah hanya China yang akan mereka mata-matai, jelas tidak. Indonesia juga akan menjadi salah satu target operasi yang lebih spesifik di masa mendatang. Melihat cakupan pengawasan seluas 40.000 km persegi, maka Triton akan mampu berkeliling wilayah Indonesia. Karena itu para petinggi Indonesia semestinya sadar bahwa perang masa depan adalah perang mata-mata dan teknologi. Semoga bermanfaat.
Penulis: Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan
www.ramalanintelijen.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar