Marsekal Muda (Pur) Agustinus Adisutjipto
akrab dipanggil Cip namun kemudian rekan-rekannya memanggilnya Pak Adi
merupakan putra pertama dari lima bersaudara buah perkawinan
Roewidodarmo dan Latifatun.
Sebagai sulung dari empat bersaudara yang semuanya laki-laki, Adisutjipto adalah kakak yang baik. "Saya tidak pernah melihatnya marah, dia pendiam dan tenang," kenang Sudarjono, adik ketiga Pak Cip. Jika berangkat sekolah, Sudarjono selalu diboncengi dengan sepeda oleh Adisutjipto. "Dia ngemong sekali," aku Sudarjono.
Adisutjipto, kelahiran Salatiga 3 Juli 1916, sangat gemar bermain sepakbola, naik gunung, tenis dan catur. Intelektualitasnya terasah lewat hobinya membaca buku-buku kemiliteran dan filsafat. Pribadinya dikenal pendiam, namun sangat reaktif bila harga dirinya terinjak.
Pernah dalam satu pertandingan sepakbola, terjadi insiden kecil menjurus tawuran massal. Cip kecil malah menghindar. Dipilihnya hari yang tepat, ditantangnya jagoan lawan duel ala koboi di sebuah lokasi yang ditentukan. Tidak jelas siapa yang kalah atau menang. Konon, sejak "duel maut" itu, mereka akrab.
Lulus dari Hollands Inlandsche School (HIS, 1929), Adisutjipto melanjutkan ke MULO Institut Saint Louis di Ambarawa (1933). Virus airmanship mulai menggerogotinya. Keinginan menjadi penerbang, mulai kerap mengganggu tidurnya. Hingga satu hari, dicurahkannya isi hatinya kepada ayahnya untuk masuk Militaire Luchtvaart Opleidings School (MLOS), Sekolah Pendidikan Penerbang Militer Hindia Belanda di Kalijati. Ayahnya yang mantan penilik sekolah, rupanya tidak bisa memahami keinginan Cip menjadi penerbang. Sang ayah merasa lebih tenang bila anaknya menjadi dokter. Karena desakan ayahnya, Cip masuk AMS (Algemene Middelbare School) di Semarang. Dasar pintar, Cip lulus dengan predikat baik sekali (1936). Lagi, Cip memohon kepada ayahnya. Kali ini dia desak ayahnya agar diijinkan melanjutkan ke Koninklijke Militaire Academi di Breda, Belanda. Sayang, darahnya "merah", bukan "biru" satu hal yang tidak mungkin kala kecuali bangsawan. "Jadilah dokter. Berilah contoh yang baik kepada adik-adikmu," tutur sang ayah.
Apa boleh buat, Cip terpaksa sekolah di Geneeskundige Hooge School (GHS), Sekolah Tinggi Kedokteran, Jakarta (1939). Cita-cita jadi penerbang yang sudah diubun-ubun kepalanya, membuat Cip sedikit nekad. Disela-sela perkuliahan inilah, Cip mendaftarkan diri ke MLOS. Tapi, pikirnya dalam hati, bagaimana jika orang tuanya mengetahui. Akal punya akal, dibantu teman-teman kampusnya, dikirimnya surat kepada residen Semarang, asisten residen Salatiga, serta patih Salatiga. Isinya, mohon bantuan membujuk ayahnya agar mengijinkannya masuk MLOS.
Sebagai sulung dari empat bersaudara yang semuanya laki-laki, Adisutjipto adalah kakak yang baik. "Saya tidak pernah melihatnya marah, dia pendiam dan tenang," kenang Sudarjono, adik ketiga Pak Cip. Jika berangkat sekolah, Sudarjono selalu diboncengi dengan sepeda oleh Adisutjipto. "Dia ngemong sekali," aku Sudarjono.
Adisutjipto, kelahiran Salatiga 3 Juli 1916, sangat gemar bermain sepakbola, naik gunung, tenis dan catur. Intelektualitasnya terasah lewat hobinya membaca buku-buku kemiliteran dan filsafat. Pribadinya dikenal pendiam, namun sangat reaktif bila harga dirinya terinjak.
Pernah dalam satu pertandingan sepakbola, terjadi insiden kecil menjurus tawuran massal. Cip kecil malah menghindar. Dipilihnya hari yang tepat, ditantangnya jagoan lawan duel ala koboi di sebuah lokasi yang ditentukan. Tidak jelas siapa yang kalah atau menang. Konon, sejak "duel maut" itu, mereka akrab.
Lulus dari Hollands Inlandsche School (HIS, 1929), Adisutjipto melanjutkan ke MULO Institut Saint Louis di Ambarawa (1933). Virus airmanship mulai menggerogotinya. Keinginan menjadi penerbang, mulai kerap mengganggu tidurnya. Hingga satu hari, dicurahkannya isi hatinya kepada ayahnya untuk masuk Militaire Luchtvaart Opleidings School (MLOS), Sekolah Pendidikan Penerbang Militer Hindia Belanda di Kalijati. Ayahnya yang mantan penilik sekolah, rupanya tidak bisa memahami keinginan Cip menjadi penerbang. Sang ayah merasa lebih tenang bila anaknya menjadi dokter. Karena desakan ayahnya, Cip masuk AMS (Algemene Middelbare School) di Semarang. Dasar pintar, Cip lulus dengan predikat baik sekali (1936). Lagi, Cip memohon kepada ayahnya. Kali ini dia desak ayahnya agar diijinkan melanjutkan ke Koninklijke Militaire Academi di Breda, Belanda. Sayang, darahnya "merah", bukan "biru" satu hal yang tidak mungkin kala kecuali bangsawan. "Jadilah dokter. Berilah contoh yang baik kepada adik-adikmu," tutur sang ayah.
Apa boleh buat, Cip terpaksa sekolah di Geneeskundige Hooge School (GHS), Sekolah Tinggi Kedokteran, Jakarta (1939). Cita-cita jadi penerbang yang sudah diubun-ubun kepalanya, membuat Cip sedikit nekad. Disela-sela perkuliahan inilah, Cip mendaftarkan diri ke MLOS. Tapi, pikirnya dalam hati, bagaimana jika orang tuanya mengetahui. Akal punya akal, dibantu teman-teman kampusnya, dikirimnya surat kepada residen Semarang, asisten residen Salatiga, serta patih Salatiga. Isinya, mohon bantuan membujuk ayahnya agar mengijinkannya masuk MLOS.
Agustinus Adisutjipto bersama HMSoedjono |
Begitulah. Adisutjipto
menjadi kadet MLOS, hingga diwisuda sebagai calon penerbang (vaandrig
pilot) tahun 1941 dengan kualifikasi groot militaire brevet (GMB) atau
penerbang kelas satu dari sepuluh penerbang, hanya dua orang mengantongi
GMB, satunya Sambudjo Hurip yang kemudian gugur bersama pesawat B-10
Glenn Martin ketika terjebak perang udara dengan Jepang di Semenanjung
Malaya, 19 Januari 1942. Di tempat yang sama pula Adisutjipto berkenalan
dengan Suryadi Suryadarma, seorang perwira lulusan Breda yang tengah
mengikuti pendidikan ML.
Ketika Jepang mendarat Maret 1942, peta penerbangan Hindia Belanda berubah. Adisutjipto yang ketika PD II pecah ditempatkan di skadron intai di Jawa beserta rekan-rekannya seperti Sujono, Sulistyo, dan Husein Sastranegara, tidak pernah lagi terbang. Semua yang berbau Belanda dimusnahkan. Untuk mengisi kekosongan, Cip bekerja di perusahaan angkutan bus milik Jepang.
Sejak pekik kemerdekaan berkumandang 17 Agustus 1945, satu demi satu muncul berbagai tuntutan. Termasuk penerbangan militer. Suryadarma bertindak cepat. Para eks penerbang AU Hindia Belanda, seperti Adisutjipto, dipanggilnya. Berbagai langkah konsolidasi, mulai dari mengumpulkan ratusan pesawat sampai mengupayakan perbaikan pesawat-pesawat peninggalan Jepang, diambil.
Usaha Suryadarma langsung berbuah. Buktinya, Adisutjipto berhasil menerbangkan pesawat Nishikoren dari Cibereum ke Maguwo, 10 Oktober 1945. Peristiwa ini tercatat sebagai penerbangan pertama di wilayah RI merdeka oleh awak Indonesia. Tujuhbelas hari kemudian, kembali Adisutjipto membakar semangat perjuangan dengan menerbangkan pesawat Cureng bertanda merah putih. Peristiwa ini mengukir lagi catatan sejarah, sebagai penerbangan berbendera merah putih pertama di tanah air.
Banyak sortie diikuti Adisutjipto dalam penerbangan ujicoba ke berbagai tempat. Di saat bersamaan, kebutuhan penerbang mulai terasa. Untuk itulah, 1 Desember 1945, Suryadarma memerintahkan membentuk sekolah penerbang di Maguwo, Yogjakarta. Adisutjipto ditunjuk sebagai kepala sekolah. Sementara Iswahyudi dan Imam Suwongso Wirjosaputro, dipercaya sebagai instruktur.
Sembilan April 1946, AURI diresmikan sebagai angkatan yang mandiri. Pimpinan dipercayakan kepada Komodor Suryadi Suryadarma. Wakil I dipegang Komodor Sukarnen Martokusumo, sementara Komodor Adisutjipto dipercaya sebagai wakil II.
Belanda belum puas. Perang kembali pecah (Agresi I). Berbarengan, Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh diperintahkan ke India mengambil bantuan obat-obatan dari palang merah internasional, termasuk mencari instruktur sekolah penerbangnya. Keberangkatan pesawat Dakota ini, mendapat publikasi luas dari media massa dalam dan luar negeri. Penerobosan blokade udara Belanda menuju India dan Pakistan berhasil dilakukan tapi pada tanggal 29 Juli 1947, ketika pesawat berencana kembali ke Yogyakarta, harian "Malayan Times" memberitakan bahwa penerbangan Dakota VT-CLA sudah mengantongi ijin pemerintah Inggris dan Belanda. Suryadarma-KSAU AU kala itu-pun diberitahu.
Senja itu, Suryadarma baru saja tiba dengan mobil jip-nya di Maguwo bersama putranya Erlangga. Di ujung cakrawala, terlihat pesawat Dakota VT-CLA melakukan approach. Para penumpangnya, Adisutjipto, Abdulrachman Saleh, AN Constantine (pilot), R Hazelhurst (ko-pilot), Adisumarmo Wiryokusumo (engineer), Bhida Ram, Nyonya Constantine, Zainal Arifin (wakil dagang RI), dan Gani Handonocokro, tentu bahagia karena sesaat lagi akan mendarat. Begitu juga Sudarjono yang lagi piket, akan bertemu dengan kakaknya.
Sekonyong-konyong, muncul dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda dari arah utara yang langsung memberondong Dakota, pesawat sipil yang jelas-jelas membawa bantuan. Pesawat kehilangan ketinggian, melayang kencang dan menyambar sebatang pohon hingga badannya patah menjadi dua bagian. Begitu pesawat terhempas ke tanah, langsung terbakar. Suryadarma dan semua orang penunggu, berlarian ke arah pesawat naas.
Tak terbayangkan terpukulnya Suryadarma. Di depan matanya, terjadi pembunuhan terhadap anak buahnya. Sudarjono mencoba menembus kerumunan. "Saya hanya menemukan tas milik Mas Cip," tuturnya. Masih menurutnya, keadaan jenazah Adisutjipto utuh dan gampang dikenali. "Hanya pergelangan kakinya yang patah, sepertinya bagian dalamnya yang kena," jelas Sudarjono, purnawirawan mayor penerbang AURI.
Ketika Jepang mendarat Maret 1942, peta penerbangan Hindia Belanda berubah. Adisutjipto yang ketika PD II pecah ditempatkan di skadron intai di Jawa beserta rekan-rekannya seperti Sujono, Sulistyo, dan Husein Sastranegara, tidak pernah lagi terbang. Semua yang berbau Belanda dimusnahkan. Untuk mengisi kekosongan, Cip bekerja di perusahaan angkutan bus milik Jepang.
Sejak pekik kemerdekaan berkumandang 17 Agustus 1945, satu demi satu muncul berbagai tuntutan. Termasuk penerbangan militer. Suryadarma bertindak cepat. Para eks penerbang AU Hindia Belanda, seperti Adisutjipto, dipanggilnya. Berbagai langkah konsolidasi, mulai dari mengumpulkan ratusan pesawat sampai mengupayakan perbaikan pesawat-pesawat peninggalan Jepang, diambil.
Usaha Suryadarma langsung berbuah. Buktinya, Adisutjipto berhasil menerbangkan pesawat Nishikoren dari Cibereum ke Maguwo, 10 Oktober 1945. Peristiwa ini tercatat sebagai penerbangan pertama di wilayah RI merdeka oleh awak Indonesia. Tujuhbelas hari kemudian, kembali Adisutjipto membakar semangat perjuangan dengan menerbangkan pesawat Cureng bertanda merah putih. Peristiwa ini mengukir lagi catatan sejarah, sebagai penerbangan berbendera merah putih pertama di tanah air.
Banyak sortie diikuti Adisutjipto dalam penerbangan ujicoba ke berbagai tempat. Di saat bersamaan, kebutuhan penerbang mulai terasa. Untuk itulah, 1 Desember 1945, Suryadarma memerintahkan membentuk sekolah penerbang di Maguwo, Yogjakarta. Adisutjipto ditunjuk sebagai kepala sekolah. Sementara Iswahyudi dan Imam Suwongso Wirjosaputro, dipercaya sebagai instruktur.
Sembilan April 1946, AURI diresmikan sebagai angkatan yang mandiri. Pimpinan dipercayakan kepada Komodor Suryadi Suryadarma. Wakil I dipegang Komodor Sukarnen Martokusumo, sementara Komodor Adisutjipto dipercaya sebagai wakil II.
Belanda belum puas. Perang kembali pecah (Agresi I). Berbarengan, Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh diperintahkan ke India mengambil bantuan obat-obatan dari palang merah internasional, termasuk mencari instruktur sekolah penerbangnya. Keberangkatan pesawat Dakota ini, mendapat publikasi luas dari media massa dalam dan luar negeri. Penerobosan blokade udara Belanda menuju India dan Pakistan berhasil dilakukan tapi pada tanggal 29 Juli 1947, ketika pesawat berencana kembali ke Yogyakarta, harian "Malayan Times" memberitakan bahwa penerbangan Dakota VT-CLA sudah mengantongi ijin pemerintah Inggris dan Belanda. Suryadarma-KSAU AU kala itu-pun diberitahu.
Senja itu, Suryadarma baru saja tiba dengan mobil jip-nya di Maguwo bersama putranya Erlangga. Di ujung cakrawala, terlihat pesawat Dakota VT-CLA melakukan approach. Para penumpangnya, Adisutjipto, Abdulrachman Saleh, AN Constantine (pilot), R Hazelhurst (ko-pilot), Adisumarmo Wiryokusumo (engineer), Bhida Ram, Nyonya Constantine, Zainal Arifin (wakil dagang RI), dan Gani Handonocokro, tentu bahagia karena sesaat lagi akan mendarat. Begitu juga Sudarjono yang lagi piket, akan bertemu dengan kakaknya.
Sekonyong-konyong, muncul dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda dari arah utara yang langsung memberondong Dakota, pesawat sipil yang jelas-jelas membawa bantuan. Pesawat kehilangan ketinggian, melayang kencang dan menyambar sebatang pohon hingga badannya patah menjadi dua bagian. Begitu pesawat terhempas ke tanah, langsung terbakar. Suryadarma dan semua orang penunggu, berlarian ke arah pesawat naas.
Tak terbayangkan terpukulnya Suryadarma. Di depan matanya, terjadi pembunuhan terhadap anak buahnya. Sudarjono mencoba menembus kerumunan. "Saya hanya menemukan tas milik Mas Cip," tuturnya. Masih menurutnya, keadaan jenazah Adisutjipto utuh dan gampang dikenali. "Hanya pergelangan kakinya yang patah, sepertinya bagian dalamnya yang kena," jelas Sudarjono, purnawirawan mayor penerbang AURI.
Bnagkai dakota |
Peristiwa heroik ini,
diperingati TNI AU sebagai hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962. Almarhum
dimakamkan di pemakaman Katolik Kuncen Yogyakarta. Karena jasa-jasanya,
pangkatnya dinaikkan menjadi marsekal muda. Dan sejak 17 Agustus 1952,
namanya diabadikan menjadi Lanud Adisutjipto (menggantikan Lanud
Maguwo). Dari pernikahannya dengan Rahayu, Adisutjipto dianugerahi
seorang putra.
Namanya pun diabadikan |
angkasa-online, wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar